Diperkirakan bayi lahir dengan kondisi bisu mencapai 30 jiwa dari sekitar 10 juta penduduk di Sumatera Utara. Hal ini disebabkan adanya gangguan pendengaran pada masa sebelum dan setelah kelahiran.
"Di Medan sendiri, dari 4.000 bayi yang lahir per bulannya, delapan bayi dalam kondisi bisu dan tuli. Berarti, di Sumut bisa saja mencapai 30 jiwa per bulannya bayi lahir bisu," kata Ketua Komite Daerah Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian Sumatera Utara, dr Delfitri Munir, di Medan, Minggu (21/11).
Perlu dilakukan antisipasi untuk mengurangi bahkan meniadakan bayi lahir dalam kondisi bisu dan tuli melalui pencanangan Medan Bebas Tuli pada bayi yang akan dilakukan, Senin (22/11) di Dinas Kesehatan Kota Medan. Program ini nantinya akan dikomandoi oleh Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian (PGPKT) Sumut. Program itu pun akan diikuti seluruh Kepala Rumah Sakit di Medan yang menangani persalinan.
Ada dua faktor yang menyebabkan pendengaran bayi terganggu yang kemudian mengakibatkan bisu dan tuli yakni akibat faktor genetik dan non genetik. "Anak dan orangtua menderita tuli keturunan juga berisiko menderita gangguan pendengaran. Selain itu penyebab gangguan pendengaran sebelum lahir non genetik terjadi pada masa kehamilan terutama pada tiga bulan pertama kehamilan," kata Delfitri Munir.
Ia mengimbau agar orangtua mendeteksi pendengaran bayi baru lahir sejak dini dengan alat bantu skrining yang idealnya dilakukan pada usia dua hari atau sebelum bayi berusia dua bulan. Sebab bila ditangani sejak dini, anak yang memiliki gejala bisu dan tuli bisa ditangani, bahkan dapat berbicara seperti orang normal.
"Kalau sudah lahir, jangan langsung dibawa pulang tapi dideteksi dulu pendengarannya. Apalagi bayi yang tidurnya nyenyak, itulah salah satu gejala anak menderita tuli dan bisu.
"Selama ini orang tua baru mengetahui kalau anaknya bisu dan tuli setelah anaknya berusaia 3-4 tahun. Padahal itu terlambat, kalaupun ditangani hasilnya tidak sesuai harapan," katanya seperti dikutip Antara.
Selain itu, bayi yang pendengarannya terganggu dapat diatasi dengan diagnosis pasti dan habilitasi (intervensi) dengan alat tes Oto Acoustic Emission (OAE). Bila masih ada kelainan maka dilanjutkan dengan BERA (Brainstem Evoked Response Audiometry).
"Tapi begitu pun, kita sangat berharap mendapat dukungan dari pemerintah kota Medan. Paling tidak menganggarkan pengadaan alat tes deteksi seperti skrining dan alat bantu dengar di jaminan kesehatan daerah, sebab tanpa bantuan Pemko, kita tidak bisa berbuat lebih," lanjutnya. [ref:liputan6]
No comments:
Post a Comment